The Subway Train

0

Posted by NavigatoRusak | Posted in

Part One : "What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet". 


Sing
"...You and I, we might be strangers. How ever close we get sometimes, its like we never met. But you and I... I think we can take it. All the good with the bad Make something that no one else has, But..."

Berdendang di stasiun kereta api. Bersandar pada tiang berwarna gelap. Bertuliskan 14 Street. Menunggu keretadenagn jaket parasut hitam Nike dan tas sepatunya yang berwarna biru gelap. Memejamkan matanya, dan menghela nafas panjang.

Jes jes jes jes jes

Matanya terbangun dari lamunannya. Lampu kereta menyinari wajahnya.
Sudah malam, pikirnya. Beberapa orang keluar. Tak sebanyak yang masuk. Mungkin hanya 8 orang yang masuk. Lelaki berbadan besar dengan rokok yang tidak dinyalakannya. Dengan jaket tebal berwarna gelap, kacamata dan topi yang menutupi wajah mereka.
Dia masuk dengan tatapan dingin. Ia tidak mau menampakan kekhawatirannya yang dapat melahirkan keributan. Membenamkan kedua tangannya kedalam saku jaket. Dan masuk bersama kedelapan pria itu. Wajahnya masih diam. Berusaha tenang dan sedik mengangguk-anggukan kepalanya. Padahal yang sedang ia dengar bukanlah lagu yang bisa membuatnya menganggukan kepalanya—itu hanyalah lagu sedih.

Dia duduk diujung, disebrang kedelapan pria besar. Menunduk menatap lantai sekali-kali, kadang menatap jendela kaca. Kadang juga mencuri-curi pandnag pada kedelapan orang itu. Besar, ada yang wajahnya bengis, berkumis, berjanggut, gendut, dan berhidung besar. Dia tetap waspada.

Seorang dari mereka berdiri saat melihat pintu kereta ditutup.

"Dimana dia?", tanyanya.

Seorang yang lain dari mereka mengarahkan matanya pada "penumpang" selain kedelapan pria itu. "...Hati-hati, ada telinga lain dikereta ini..."

"Tenang saja, dia sedang mabuk dengan iPod bodohnya..."

Sipendengar iPod itu tetap diam. Pura-pura menikmati lagu-lagu sendu diplaylistnya, padahal suara pria-pria itu memekakan telinganya.

"Adam, Carl, ayo cepat sadarkan dia digerbong sana!", perintahnya lagi.

Kedua orang itu pun langsung berdiri menuju gerbang lain. 

"Hey Lambert, memang siapa dia?", tanya seorang yang berhidung besar pada siperintah.
"Tenang saja. Dia hanya kecebong kecil tanpa suara...", 

Pendengar iPod itu masih berdiam.

"Kita bawa dia jauh dari rumahnya!", Dan mereka berlima tertawa kecil.
 ***
Malam. Salju sedikit turun perlahan-lahan. Keenam pria itu  masih duduk dan berbincang-bincang soal trip mereka ke Vegas. Membicarakan 'Daisy'—sang primadonna si perintah yang ingin menikahinya dichapel kecil yang ada di Vegas.

"Kemana Adam dan Carl?", tanya sihidung besar.
"Entahlah, mungkin mereka sedang bermain dengan kecebong itu...", jawab Lambert—si Perintah.

Rasa penasaran sipendengar iPod itu makin memuncak. Rasanya sangat mengganggu. Rasa ingin tahu apa yang sedang mereka lakukan. Apa atau siapa itu kecebong? Lalu ia memutuskan untuk berdiri. 

"Haaaah...", dia melepaskan nafasnya.

Berdiri, membuat keenam pria itu memusatkan pengelihatanya pada si Pendengar iPod. 

Dia hanya berdiri dengan tenangnya, dan melewati gerbong. Seseorang dari pria itu bicara.

"Kemana malam-malam begini? Banyak penjahat diluar sana! Hahahaha...", tawanya dan disambut oleh teman-temannya.
Seorang darinya merasa cemas.
"Hey... Lambert!", "Tenang saja... tak usah takut seperti itu!"

SiPendengar iPod berjalan. Menuju gerbong lain. 

Ia menemukan Adam dan satu lagi—ia lupa namanya. Dengan 'Kecebong' yang sudah babak belur. Hidung yag berdarah. Dan seorang kondektur. 
"Dia tadi babak belur dijalanan, kami menemukkannya...", jawab mereka, dan memberikan tiketnya "...dia teman kami..."

Sikondektur hanya melihat remaja lelaki itu. Memegang dagunya, lalu berjalan keluar gerbong untuk menagih kegerbong lain.

Sipendengar iPod itu melihat si kecebong yang babak belur. Lehernya diketiaki oleh si Adam.

Tapi dia tetap berjalan lurus menuju kamar mandi.
 ***
Dia kembali, tapi dia hanya menemukan tubuh sikecebong tanpa Adam atau temannya, atau keenam yang lainnya.

Dia jongkok dipojok, menangis? Darah yang keluar dari hidungnya. Keringat yang bercucuran dari rambutnya yang hitam.

Si Pendengar iPod itu Penasaran setengah mati. Ia mencoba tidak peduli dan kembali kegerbong asal dia duduk.

Kosong.

Tak ada penumpang lagi?

Akhirnya ia kalah dengan perasaan penasaran yang hampir membunuhnya.

Dia mendekati remaja pria itu. Dengan kemeja sekolahan yang putih bercampur noda tanah dan darah yang mencoklat.

Lalu jongkok disebelahnya. Sipendengar itu memerhatikan wajah sikecebong. si 'kecebong' itu memalingkan wajahnya. Si Pendengar iPod duduk dan menjulurkan kedua kakinya, lalu mebuka tas sepatunya, dan mengeluarkan tempat minumnya. "Sepertinya kau butuh, uh.. minum?" Silelaki itu membenamkan wajahnya pada tekukan kakinya."Tenang... aku bukanlah mereka...", mengeluarkan beberapa biskuit dari sakunya. "...aku bisa membantumu..", ucapnya dengan sungguh-sungguh.
Si kecebong itu mulai mengangkat kepalanya. Menoleh pada siPnedengar iPod. 
"Katakan, siapa namamu?"
Sikecebong pun berfikir, tak mungin sipendengar iPod ini dapat melukainya. 
"Nama? untuk apa?"
"Hey, kau mau ku bantu atau tidak?"
"Buat apa? hanya menyulitkan hidupmu... siapa lagi yang ingin diabntu olehmu!"
"Serius? Lalu kau akan kemana dengan wajah begini? Dengar, aku bukan mereka... Lihat? Aku mendengar kan iPod! Aku yah seperti kau... remaja seperti biasa yang baru pulang dari Douzo"
"...", Kecebong itu diam.
"ayolaaahh... baik, kalau begitu biar aku yang mulai...", dia mendekatkan kearah kecebong itu. Menodongkan tempat minum yang terbuat dari low density polyethylene yang berwarna biru langit.

Sikecebong membuka tempat minum itu.

"aku, Selma.. S-E-L-M-A... dan kau?", kecebong itu masih diam. Berpikir bahwa si 'kecebong' itu tidak percaya, Selma mengeluarkan dompetnya, dan mengeluarkan kartu pelajarnya. "Selma...", ucapnya lagi.
"sekarang giliranmu!", ucapnya.

"Apalah arti dari sebuah nama?", ia menjawab dengan datar, dan meminum air. "Haaah...", ucapnya.

"William Shakespare... Sangat berbau sastra... Oke, aku serius! Sekarang sebutkan namamu, dan aku akan membawamu keapartemen kecilku.."

"Kau sudah tahu...", ucapnya.
"Oh!", sipendengar iPod pun terperangah, dan mengetahui bahwa ternyata pernyataan tersebut adalah sebuah jawaban.

Kereta melaju cepat, dan salju berguguran diluar sana. Ada perbincangan kaku didalamya.

"Well I won't guess, what's coming next. I can't ever tell you're the deepest well I've ever fallen into. Oh I don't wanna know, Oh I don't wanna know, Oh I don't need to know, everything about you. Oh I don't wanna know, and you don't need to know that much about me..."

"Kau suka dengan lagunya Wilco, Will? Mau dengar?.."

***